ASAL USUL KOTA JOMBANG ~ Cerita Rakyat Jawa Timur | Dongeng Kita
ASAL USUL KOTA JOMBANG ~ Cerita Rakyat Jawa Timur | Dongeng Kita
asal-usul Jombang kisah dari provinsi Jawa Timur
kabupaten Jombang adalah kabupaten yang
terletak di provinsi Jawa Timur Jombang
dikenal dengan sebutan kota santri
karena banyaknya pondok pesantren yang
berdiri di kabupaten ini
Kabupaten Jombang pada mulanya merupakan
gerbang Kerajaan Majapahit
gapura bagian barat adalah Desa
tunggorono
sedangkan gapura bagian selatan adalah
Desa ngrimbi pada logo Kabupaten Jombang
selain terdapat gerbang juga didasari
warna merah dan hijau
disebut-sebut dua warna inilah yang
menjadi asal muasal nama Jombang konon
nama Jombang tidak lepas dari sosok
kebokicak dan surontanu kebokicak semula
bernama Jo plus Ia adalah anak dari ibu
wandan Wang ori di Dusun Karang kejambon
Jombang suatu ketika Joko tulus muda
ingin memiliki wilayah kekuasaan
Ia menyampaikan niatnya pada sang Ibu
namun niatnya tidak direstui oleh ibunya
meski dilarang Joko tulus tetap
melanggar larangan ibunya tersebut
setelah melanggar perintah ibunya Joko
tulus semakin menjadi-jadi
tingkah lakunya semakin tidak terkontrol
dan tanpa aturan cara Jalan Joko tulus
juga terpincang-pincang
karena sikapnya itu ia pun dijuluki
kebokicak
menyadari keadaannya gebuki cat lantas
mengembara untuk berguru kepada Kiai
Kyai Sakti diantaranya berguru di
Banyuwangi dan di padepokan sumoyono
Desa Cukir kecamatan Diwek kabupaten
Jombang Hai di padepokan sumoyono itu
kebokicak bertemu dengan surontanu yang
tak lain adalah anak pamannya sendiri di
padepokan tersebut kebokicak berlatih
tanpa lelah hingga berhasil menguasai
ilmu kanuragan yang membuatnya menjadi
seorang yang sakti di padepokan yang
sama surontanu juga tak kalah hebatnya
dengan kebokicak
surontanu berhasil menguasai ilmu
kesaktian dan memperoleh salah satu
hewan peliharaan pusaka yakni banteng
tracak Kencono
Setelah lama berguru di padepokan
sumoyono kebokicak yang sejak kecil
tidak tahu dimana sang ayah akhirnya
berupaya untuk mencari keberadaan
ayahnya
ia keluar masuk ke daerah-daerah di
sekitar tempat tinggalnya
akhirnya sampailah pencarian kebokicak
di Kerajaan Majapahit gemuk Icak dengan
kesaktiannya memasuki Kerajaan Majapahit
demi mencari tahu keberadaan ayahnya
yang bernama Patih Pamulang Jagat
setelah melalui berbagai rintangan
akhirnya kebokicak diperbolehkan
menghadap pada Patih pranggulang Jagat
ampun Pak juga ada seorang pemuda yang
mengaku sebagai anak maduka
bawa masuk kemari Jika dia benar anakku
maka tunjukkan buktinya diluar dugaan
kebokicak Fatih Pamulang Jagat sang ayah
yang dicarinya mengajukan syarat padanya
kebo kicak pun bersedia melakukan syarat
apapun yang diminta ayahnya kau harus
mengangkat batu hitam yang ada di Sungai
Brantas
Hai kau juga harus berhadapan dengan
baju hijau dan mengalahkannya Apakah kau
siap baik Akan aku buktikan saat ini
juga
tidak menunggu lama kebokicak segera
menemui baju ijo dengan kesaktian yang
dimilikinya bukan hal sulit baginya
untuk bisa mengalahkan Bajul Ijo hanya
dengan beberapa kali jurus kebokicak pun
berhasil mengalahkan baju ijo kebokicak
juga berhasil mengangkat batu hitam di
Sungai Brantas tanpa halangan apapun
batu besar hitam yang sangat berat itu
berhasil diangkat dan dibawa keluar
Sungai Brantas
melihat kebokicak berhasil memenuhi
syarat yang diminta Patih pranggulang
Jagat pun merestui dan mengakui
kebokicak sebagai anaknya Ia juga
menyerahkan wilayah barat sebagai
kekuasaan kebokicak
Hai suatu ketika di tempat tinggal
kebokicak terjadi wabah penyakit konon
wabah akan berhenti jika ada yang
berhasil mengalahkan banteng pusaka
milik surontanu Mendengar hal itu ke
bukit Cak berusaha membunuh banteng
pusaka milik surontanu surontanu yang
sudah berjanji akan menjaga banteng
tracak Kencono tidak tinggal diam
mendengar ada yang berusaha untuk
membunuh usahanya tak pelak lebih
pertarungan saudara seperguruan antara
kebo kicak dan surontanu pun terjadi
tidak ingin dikalahkan kebokicak
surontanu pun pergi ke berbagai tempat
konon kebokicak terus mengejar surontanu
bersama banteng tracak Kencono di daerah
Parimono surontanu lari bersama
bantengnya kearah sawah yang kala itu
penuh tanaman padi sehingga tanaman padi
yang menghampar pun rusak gemuk Icak
yang menyaksikan pelarian suronto Ibnu
hanya geleng-geleng kepala bakal
lahirlah sebutan Parimono atau padi yang
disasak hingga rusak surontanu juga
berlari kearah Utara ia menemukan sebuah
rumah beratap jerami dan alang-alang
yang didalamnya terdapat pemandian
kerbau sementara kebokicak tetap mencari
surontanu dimanapun berada dalam
pengejaran itu kebokicak kelelahan dan
beristirahat di bawah pohon beringin
raksasa hingga tertidur
setelah merasa cukup beristirahat gebuki
Cak segera bangun dan melanjutkan
pencarian surontanu percaya ama dalam
perjalanan ke bukit cat dan Surround
tahu pun bertemu mereka kembali
bertarung dengan mengeluarkan segala
kesaktiannya tinggal muncul kilatan
cahaya hijau dan bau-bau atau cahaya
hijau dan merah diatas langit dalam
perang tanding itu surontanu akhirnya
terkecil mundur dan lari ke arah timur
Hai pertandingan mereka yang memunculkan
cahaya berwarna hijau dan merah atau
hijau Abang itu yang menjadi cikal-bakal
penyebutan nama Jombang yakni berasal
dari akronim kata ijoabang menjadi
Jombang warna hijau dan merah juga ada
dalam logo Kabupaten Jombang hijau
bermakna kesuburan ketenangan dan
kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa
sedangkan warna merah berarti keberanian
dinamis dan kritis dari beberapa titik
lokasi pertarungan kebokicak dan
surontanu juga menjadi asal-usul
sejumlah daerah di Kabupaten Jombang
seperti nama daerah Parimono hingga kini
nama Jombang selalu dikaitkan dengan
kebokicak dan surontanu nama kebokicak
dan surontanu pun senantiasa diingat
oleh masyarakat Jombang dengan berbagai
Desa Cupak terletak di Kecamatan Ngusikan Kabupaten Jombang. Desa hasil pemekaran kecamatan Kudu tersebut, terletak di bagian utara Kabupaten Jombang yang berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Lamongan.
Pada acara pembukaan pengabdian masyarakat Desa dan Mitra (Deputra) BEM FIB UNAIR, Winarsono selaku Kepala Desa Cupak mengatakan, Cupak merupakan desa terpencil dari sebelas desa yang ada di kecamatan Ngusikan, mempunyai tiga dusun yakni Cupak, Asemgede, dan Kromo.
“Desa Cupak ini sendiri mempunyai luas 71 Hektar dan memiliki jumlah penduduk sekitar 937 orang” papar Winarsono pada pembukaan Deputra di Balai Desa Cupak (19/12).
Pada tahun 2016, Desa Cupak ditunjuk sebagai Kampung Keluarga Berencana (KB) oleh Pemerintah Kabupaten Jombang. Alasannya, karena desa tersebut mempunyai inovasi kependudukan yang dilakukan warga sekitar sejak lama.
“karena setiap keluarga mulai balita, remaja, orangtua, dan lansia (Desa Cupak, Red) terlibat aktif pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan KB dari dulu,” Terang Winarsono.
Potensi Desa Cupak
Selain sebagai percontohan kampung KB, Cupak juga mempunya potensi unggulan yang sangat menarik. Winarsono menuturkan, ada tiga potensi besar yang ada di Desa Cupak.
Pertama, Desa Cupak mempunyai kawasan religi Gunung Pucangan. Tempat yang mempunyai peninggalan situs Raja Airlangga tersebut, sering dikunjungi warga sebagai tempat wisata sejarah untuk mengetahui napak tilas perjalanan Raja Airlangga dengan adanya makam-makam kuno, salah satunya Dewi Kilisuci.
“kebanyakan dari mereka mengunjungi makam Dewi Kilisuci, Anak perempuan semata wayang Airlangga, tiap Kamis Kliwon atau Jum’at Legi,” imbuhnya.
Kedua, Desa Cupak menerapkan pola tanaman sela (tumpang sari, Red) di pegunungan yang luas. Tanaman seperti jagung, kunyit, dan gadung ditanam dengan teknik terasering di tengah hutan jati.
“Jagung yang ditanam disini dijadikan sebagai bibit unggulan jenis bisi, dan bahan tepung mie oleh PT Ambico,” ujar Lastiyo, petani jagung desa Cupak.
Ketiga, adalah kerajinan anyaman kloso (tikar). Warga Desa Cupak memanfaatkan daun pandan sebagai kerajinan untuk membuat tikar. Tak jarang, Tikar Cupak dipesan hingga ke daerah lain seperti Mojokerto dan Surabaya.
Terakhir, Winarsono berharap, dengan adanya kegiatan Deputra di Desa Cupak, dapat membantu pengembangan ekonomi desa dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar secara berkelanjutan (*).
Penulis: Fariz Ilham Rosyidi
Editor: Nuri Hermawan