Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Nadiem Makarim: Siap Dihujat Demi Bela Generasi Berikutnya | Endgame #113

Thursday, January 26, 2023 | January 26, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-01-27T03:36:00Z

Nadiem Makarim: Siap Dihujat Demi Bela Generasi Berikutnya | Endgame #113

Nadiem Makarim: Siap Dihujat Demi Bela Generasi Berikutnya | Endgame #113 - Yaya Blog
Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim berbicara tentang peran pendidikan rumah tangga sebagai pondasi pembentukkan karakter dan pola pikir seorang individu, faktor penentu  kesuksesan pendidikan usia dini, hingga bagaimana terobosan-terobosannya dapat membantu melerai benang kusut permasalahan pendidikan di Indonesia.

Percakapan ini direkam bertepatan pada Hari Guru Nasional, 25 November 2022. Terselenggara atas kerja sama dengan Ideafest 2022.

Nadiem itu bagian awal dari eksperimen ide kita dengan Endgame.
"Kalau ada yang sempat lihat di bulan September tahun 2019,"
saya itu sempat ngobrol dengan Nadiem atau Mas Menteri
itu hanya beberapa minggu sebelum beliau dilantik sebagai Menteri Pendidikan.
"Dan seharusnya saya terkejut, tetapi saya tidak."
Karena dari dulu itu saya sudah melihat di dirinya Mas Menteri itu
dia benar-benar jiwanya memang kental dengan kepentingan kebijakan
dan kepentingan nation-building.
"Nah, dalam kehormatan ini saya mau nanya,"
"kita mulai dari yang paling basic banget deh,"
apa yang sudah berubah semenjak kita terakhir ngobrol di depan kamera
di bulan September tahun 2019 sampai sekarang?
"Nggak ada yang sama pada saat masuk ke pemerintahan,"
semuanya berbeda banget.
Jadi mulai dari ruang gerak kita jauh lebih kaku.
"Jadi aneh. Bisa bayangin, Pak Gita sudah pasti bisa bayangin,"
"tapi mungkin masyarakat lain yang biasa di swasta,"
"kalau CEO itu kan bilang A, ya A yang dikerjain."
"Saya nggak punya kekuasaan sama sekali dengan promosi SDM saya,"
"saya nggak punya kekuasaan sama sekali kepada gaji karyawan saya,"
"promosi, struktur insentif, enggak ada sama sekali,"
itu dipegang Kementerian lain.
Jadi bayangkan mencoba menjalankan kapal
tapi saya nggak punya kontrol atas SDM-nya.
Jadi itu suatu hal yang sangat alien buat saya waktu pertama kali masuk.
"Kedua adalah budayanya waktu saya pertama kali masuk,"
nggak terbiasa untuk terbuka kepada kepemimpinan.
"Ada cerita lucu, waktu saya pertama masuk,"
"saya bawa beberapa Tim Millenial, tentunya dong, masa mau sendirian di situ."
"Jadi saya bawa beberapa tim lain di sini, ""Dei, berdiri,"" ini salah satu tim milenial,"
teman lama.
"Nah waktu pertama meeting sama dirjen-dirjen lain,"
"waktu itu meeting-nya pas sebelum kita COVID,"
"itu Tim Millenial saya itu sudah kayak biasa di sektor swasta,"
mereka berdebat secara terbuka sama saya.
"Dan pada suatu saat, salah satu kecolongan,"
"salah satu tim saya bilang,"
"“Mas Menteri, itu kayaknya bukan ide yang baik deh."
"Menurut saya, coba Mas Menteri pikirin dulu lebih matang, baru gitu.”"
"Itu mukanya dirjen-dirjen langsung drop,"
"bahwa bisa ada perbincangan bukan hanya membilang tidak kepada Menteri,"
tetapi malah membilang idenya menteri itu nggak baik.
Buat saya itu normal di tim itu.
Itu satu mungkin cuplikan kecil mengenai perbedaan budaya.
"Tapi dalam waktu 6 bulan, semua dirjen itu sekarang protes sama saya,"
"kalau mereka merasa,"
dalam waktu 6 bulan mereka terbiasa dan sekarang sudah diskusi kita debat panas
"setiap saat, dan nggak masalah, nggak ada ilfeel,"
"enggak ada bete-betean, pokoknya kita diskusi untuk negara."
Jadi itu mungkin.
"Ketiga, perubahan yang terbesar buat saya adalah profile, high profile."
"Jadi saya nggak bisa ke mall,"
"saya nggak bisa ke restoran, tanpa ada orang datang untuk minta selfie."
- Bakal banyak nih habis ini. - Betul.
Pak Gita tahu orang Indonesia itu merasa mereka berhak mendapatkan selfie
itu kayak fundamental human right-nya mereka.
"– Apalagi kalau sudah bayar. – Ya.  Kalau sudah bayar, wajib dong dapat."
"Tapi ini bukan dibayar, tapi di mana pun, lagi main sama anak, “Pak selfie.”"
Kadang-kadang ditarik saya dari kursi untuk selfie.
Jadi adaptasi buat saya
dapat high profile role baru ini susah sekali buat saya adaptasi.
"Itu mungkin yang secara mental paling sulit,"
"bahwa saya nggak bisa bebas saja di luar menjadi diri saya,"
"selalu cemas siapa yang akan melihat, siapa yang akan datangin saya,"
ajak ngobrol saya dan selalu ada agenda tertentu.
Jadi itu buat para millennial itu aneh buat saya.
Jadi itu mungkin perubahan terbesar.
"Tapi luar biasa, dari sisi dampak, jujur, kalah sektor swasta."
"Jadi dari rasa kalau kita melakukan suatu ""Dem!"""
"dan sebelumnya kan sektor swasta saya dampaknya cukup besar ya, Pak Gita,"
"tetap saja di pemerintahan apalagi di pendidikan,"
itu saya merasa semua hal kecil saya bisa tanda tangan satu kertas
dampaknya itu ke puluhan juta generasi masa depan.
Jadi itu yang membuat semua rasa sakit itu sepadan buat saya.
Jadi mungkin itu yang perubahan terbesarnya.
– Keren banget! Oke kita coba deep dive mengenai pendidikan.
Kalau pendidikan itu kan sering kali kita berpikir bahwa
yang paling di depan itu adalah rumah tangga untuk mendidik seorang anak.
Cerita deh gimana tuh Dikbud menyikapi
atau memikirkan apa yang harus dilakukan oleh orang tua di rumah
"sebelum mereka ke sekolah, anaknya."
– Jadi di satu sisi ada keterbatasan dari ruang lingkup daripada Kemendikbud.
"Kami nggak punya kontrol atas rumah tangga,"
"kami hanya punya kontrol terhadap sekolah,"
itu pun kontrol terbatas karena sekolah itu di bawah Kabupaten.
"Bagi teman-teman yang nggak tahu, SD dan SMP itu di bawah Kabupaten,"
mereka yang memiliki sekolah.
Jadi Kemendikbudristek tidak memiliki satupun sekolah.
"Dan untuk SMA dan SMK, itu dimiliki oleh tingkat provinsi, lebih lagi rumit."
Cuma universitas yang langsung di bawah kita.
"Makanya kita melihat universitas, perubahannya lebih drastis lagi"
yang kita lakukan.
Jadi walaupun ada keterbatasan itu ada beberapa prinsip dasar
salah satunya dengan pendidikan masyarakat
kita bangun suatu pusat namanya Pusat Pendidikan Karakter.
"Dan di Pusat Pendidikan Karakter itu,"
nggak tahu kalau teman-teman di sini pernah melihat
ada berbagai macam video viral yang kita keluarkan
"mengenai kekerasan seksual, mengenai intoleransi antar agama,"
"mengenai perundungan,"
ada banyak sekali video-video yang lebih mengarah ke Gen Z ke bawah
yang sebelumnya pemerintah kayaknya nggak akan pernah ngeluarin video seperti itu
karena beberapa di antaranya bisa jadi kontroversial.
Tapi kita mengambil risiko itu biar nyambung ke generasi muda.
Nah itu adalah mengenai nilai-nilai di anak muda.
"Tapi kalau kita ngomongin orang tua dan rumah tangga,"
"menurut saya, satu hal yang sangat penting adalah"
bagaimana orang tua bisa mengerti tool-tool terpenting
untuk meningkatkan literasi dan numerasi.
"Dan tool-tool ini sangat simpel sebenarnya di rumah,"
"tapi membutuhkan pengorbanan, artinya dalam aspek waktu."
"Dan tool yang terpenting menurut saya, di atas cinta ya, cinta nomor satu, oke,"
"kalau itu di situ nggak ada, repot."
Tool yang terpenting menurut saya adalah waktu.
Jadi nggak ada gunanya kita cinta doang sama anak kita
tapi kita nggak pernah mau mengeluarkan sumber daya yang paling mahal
"untuk kita, bukan uang."
Sumber daya  termahal adalah waktu.
"Dan waktu itu, baru kita bisa bicara tools-nya."
"Jadi ada beberapa tool kunci yang menurut saya,"
"ini terutama untuk anak yang lebih kecil,"
"pada saat mereka sudah menjadi remaja, mereka sudah jadi kayak manusia,"
jadi mereka sudah bisa nyari-nyari ke mana-mana lagi.
Dampak kita kepada anak itu semakin kecil semakin dia tua.
"Jadinya apalagi di 5 tahun pertama, 10 tahun pertama,"
"menurut saya, tools yang paling efektif dari awal anak usia dini adalah buku."
"Ini  kekuatan buku dan membacakan buku kepada anak-anak kita itu kayak magic,"
benar-benar magic.
"Jangan tanya saya kenapa, it just works."
"Nggak usah ada berbagai macam penjelasan pedagogi, sains, psikologi,"
"mengenai kenapa, pokoknya kalau Anda bacain buku kepada anak"
"secara reguler, daya tangkap literasi dia,"
"kemampuan critical thinking dia akan meningkat,"
"itu yang pertama, bacain buku."
"Kedua diskusi. Jadi, hal yang sederhana."
"Gini saja deh, saya pernah sering sekali berbicara sama orang tua"
"dampak terbesar pada saat dia menentukan waktu makan nggak boleh ada iPad,"
"nggak boleh ada gadget, waktu makan adalah duduk bersama anak,"
"pilih sekali sehari saja, kalau bisa."
"Atau sekali dua hari, nggak apa kalau sibuk, mungkin nggak bisa,"
tapi putuskan mau berapa frekuensinya.
Duduk dan berbicara. Dan berbicara itu bukan satu arah.
Banyak sekali orang tua mengira berbicara adalah
"saya mau memberikan pesan moral kepada anak-anak saya,"
"ini ajaran loh “Dek, ini harus begini,” itu bukan ngomong namanya,"
"itu bukan diskusi, itu namanya menggurui."
"Sama dampaknya kayak mahasiswa yang dikuliahi saja sama dosen,"
"terus ambil tes, dampaknya akan sangat minim."
"Tapi orang tua sebagai guru, kalau dia berdiskusi bolak-balik,"
"dia tidak pernah mengira pertanyaannya itu anak bodoh,"
"pertanyaannya itu anak merepotkan dia, atau pertanyaannya mungkin gak layak,"
semua pertanyaan anak itu adalah kesempatan untuk anak itu belajar
dan di-drive oleh anak itu.
Jadi reaksi positif terhadap pertanyaan itu luar biasa pentingnya.
Ayah dan ibu yang selalu menjawab pertanyaan
"dan nggak pernah “Eh diam saja deh lu,”"
itu adalah perbedaan sangat besar dari critical thinking.
Itu tool kedua; pertanyaan dan diskusi.
"Dan yang ketiga, menurut saya, tool terbesar orang tua bisa berikan adalah"
"ini tool yang menyentuh,"
memberikan anak itu kepercayaan
dan nggak perlu terlalu rumit mikirnya.
Orang tua itu harus selalu meyakinkan anak itu
bahwa dia si orang tua percaya akan potensinya itu anak.
"Ini persis sama kayak guru, nggak ada bedanya."
"Jadi kalau orang tua itu selalu meyakinkan anak “Saya yakin kamu bisa,”"
"kamu bisa, walaupun dia kesalahan, dia kesandung,"
"saya percaya kamu bisa,"
"anak itu akan merasa bahwa kalau orang tuanya,"
"orang yang dia paling hormati, walaupun kadang tidak demikian,"
"orang yang dia paling hormati itu percaya sama dia,"
berarti dia mungkin “Mungkin saya bisa.”
Itu luar biasa. Itu awal dari growth mindset.
Jadi awal dari growth mindset adalah percaya kamu bisa melakukannya.
Jadi itu mungkin 3 tool yang kita coba dorong guru-guru penggerak kita
di lapangan.
"Nah, ujung-ujungnya, pertama, kita mau guru dulu."
"Langkah kedua, baru guru akan meyakinkan orang tua"
karena dia melihat anak-anaknya mulai tumbuh di kelas.
"Sekarang saja dengan kurikulum merdeka, guru-guru penggerak, dan sekolah penggerak,"
"itu banyak orang tua sekarang datang,"
"“Aduh Mas Menteri, kita ini sibuk banget di rumah.”"
"“Kenapa Bu?” ""Karena sejak Kurikulum Merdeka,"
"anak saya proyek tim terus, proyek sama anak-anak tim proyek, sibuk."""
"""Ah nggak papa ya Bu. Repot ya?"" ""Iya repot. Tapi anak saya terus cerita"
"mengenai sekolah sekarang, pertama kalinya."""
"Jadi ini anak terlibat, karena dia kerja bareng teman sekolahnya,"
dia terangkul dengan proses pembelajaran dia.
Nah sama saja di rumah tangga.
"Ajak mereka melakukan apapun yang Anda lakukan; memasak,"
"melihat ini, kita lagi nonton apa,"
"kita lagi ngerjain kerjaan, kita di laptop, apapun,"
"ajak mereka dalam kegiatan tersebut,"
dan mereka akan merasa bisa melakukannya.
– Kira-kira begitu. – Keren banget!
"Oke, kita bakal ngobrol banyak mengenai tersier"
tapi mungkin sebelum ke situ kita ngobrol mengenai pendekatan
atau apapun yang harus dilakukan terkait dengan pengembangan PAUD.
Karena kita dipelototin dengan data-data mengenai malnutrisi
"yang mungkin masih kurang berkenan, stunting, dsb.,"
jadi kepentingan kita adalah untuk gimana menyuntik software sebagus mungkin
"ke kepala anak-anak kita yang sebelum umur 9 tahun,"
itu kan umur yang mana pembentukan otak sudah final.
"Nah, apa yang kita harus pertimbangkan ke depan"
supaya lebih berkenan ke depan
"pendidikan untuk anak-anak yang ke PAUD, ke SD 1, 2, 3, dan seterusnya."
Jadi satu hal yang cukup mengecewakan buat kita di Kemendikbudristek adalah
inisiatif terbesar kita untuk akhirnya memberikan sumber daya kepada PAUD
adalah RUU Sisdiknas.
Jadi ada alasan kenapa kementerian dan pemerintah itu
tidak memberikan sumber daya yang sepadan untuk PAUD
dibandingkan yang lain karena wajib belajar kita itu 9 tahun;
"SD dan SMP, itu Undang-Undang."
Universitas tentu dampak ekonominya jelas
dan nggak perlu dijustifikasi kenapa kita menggelontorkan dana.
"Untuk PAUD, benar-benar mendapat atensi dari pemerintah dan masyarakat,"
kita harus membuat PAUD itu bagian dari wajib belajar.
"Jadi tadinya itu di RUU Sisdiknas, wajib belajar itu bakal 13 tahun."
"Kenapa 13? Tambah 3 SMA, itu kan 12,"
"terus minus 1, PAUD."
Jadi semua PAUD akan diformalkan.
"Artinya untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia,"
guru-guru PAUD akan menjadi guru formal.
Sekarang ini guru PAUD itu bukan guru formal di Indonesia.
"Jadinya mereka nggak bisa dapat benefit, diangkat, dll., itu lebih sulit."
"Tapi sayangnya, RUU Sisdiknas itu ditolak di prolegnas prioritas,"
dan kemungkinan besar nggak akan bisa selesai sampai Pemilu.
"Jadi itu mungkin satu hal yang saya sayangkan di Kemendikbudristek,"
itu cukup sedih.
Ada banyak lagi hal-hal yang bagus mengenai RUU Sisdiknas
"tapi karena berbagai macam miskom dan resistensi,"
"kita masuk tahun politik, jadi hal itu akhirnya tidak terjadi,"
"jadi cukup sedih. Tetapi untuk menjawab pertanyaan itu,"
ada beberapa hal mengenai PAUD yang terpenting.
Nomor satu dari semua adalah gurunya.
"Mau tempat itu sebagus apa pun, punya alat permainan edukatif (APE),"
"alat permainan yang paling hebat, nggak ada gunanya itu kalau gurunya …"
"seperti institusi pendidikan lainnya, bahwa guru adalah yang terpenting."
Apa mengenai guru itu?
Adalah pertama dari sisi seleksi gurunya dulu.
Itu adalah yang terpenting.
Jadi dari riset kita yang membuat guru itu
"potensi guru hebat atau nggak usah guru hebat,"
"guru yang baik, di Indonesia, itu guru yang baik saja,"
itu sebenarnya tidak berkorelasi dengan kehebatan kemampuan dia
"secara mungkin tes, asesmen, akademis, sama sekali tidak."
Yang terpenting pertama level satu adalah kenapa dia jadi guru.
"Salah satu transformasi kita buat PPG, yaitu satu tahun training sebelum menjadi guru,"
"itu yang kita kunci sekarang programnya di Kemendikbudristek,"
"kita buat tes masuknya lebih susah,"
"tes akhirnya lebih susah, jadi kita kunci satu tahun itu,"
yang terpenting daripada survei dan interview dan analis
untuk masuk program itu adalah: Anda ini mau jadi guru kenapa?
Alasan dan pertanyaan-pertanyaan yang biar dia tidak bisa bohong
mengenai alasannya kenapa menjadi guru
adalah faktor terpenting daripada kemampuan dia menjadi guru yang baik.
Kenapa? Nyambungnya itu dengan growth mindset.
Jadi dua pertanyaan sebenarnya yang terpenting dari level konseptual.
Satu adalah ini guru menjadi guru karena kepingin membantu anak-anak apa tidak.
Jadi yang pertama adalah orientasinya kepada anak.
"Dan yang kedua adalah apakah guru itu, ini namanya growth mindset,"
"guru itu percaya nggak bahwa dia sebagai guru bisa terus menjadi lebih baik,"
"dan otomatis guru yang percaya dirinya bisa lebih baik,"
"itu biasanya, dia merasa semua muridnya dia juga potensi bisa menjadi lebih baik."
Jadi growth mindset itu menular.
"Kalau dia percaya dirinya bisa jadi lebih baik,"
"dia akan mencari informasi, menggali pengetahuan untuk menjadi lebih baik."
Dan sama juga dengan bagaimana dia memperlakukan anak-anaknya dia.
Anak-anaknya juga dia akan percaya potensi setiap (anak).
"Saya nggak peduli guru itu kualifikasinya S3 dari sekolah terhebat di dunia,"
"kalau dia tidak percaya sama potensi setiap anak di situ,"
"termasuk anak-anak yang paling payah dalam kelas,"
"itu guru buruk, itu yang namanya guru buruk,"
guru yang menyerah atas potensi setiap anaknya.
Guru terbaik adalah yang menghabiskan paling banyak waktunya
untuk murid-murid yang payah
karena dia percaya potensinya mereka untuk sukses.
Jadi itu satu.
"Kedua adalah dari sisi PAUD, filsafat proses pembelajarannya."
"Jadi anak, apalagi di PAUD, mereka belajar paling efektif dengan bermain."
Ini ada perdebatan besar dulu mengenai calistung.
Nggak tahu teman-teman tahu itu calistung.
Jadi itu adalah suatu dogma
"di mana anak itu dipaksa baca, tulis, menghitung"
"tapi melalui format worksheet, worksheet, worksheet,"
"jadi dia drilling untuk bisa sudah baca, tulis, dan hitung"
pada saat mereka masuk kelas 1 SD.
"Nah, masalahnya bukan calistungnya."
"Tentu kita akan mengajarkan baca, tulis dan menghitung kepada anak-anak PAUD."
"Jadi ada miskonsepsi Kemendikbudristek nggak mau anak-anak belajar calistung, tidak."
Yang kita bilang adalah caranya ngaco.
"Karena anak umur 5 dan 6, kalau diajarin dengan worksheet seperti itu,"
"ya oke, dia mungkin akan belajar,"
tetapi dia akan selama-lamanya mengasosiasikan sekolah
"dengan suatu hal yang membosankan, menyakitkan (painful) buat dia."
Dia akan mengasosiasikan proses belajar dengan pengalaman yang negatif.
"Dan itu efek buruknya terjadi pada saat dia sudah kelas 3, 4, SD."
Indonesia anak-anaknya paling tinggi salah satu yang terhebat di dunia
"bacanya dan nulisnya di umur PAUD, 5-6 (tahun), kelas 1."
"Giliran kelas 4, dia sudah kalah sama Finlandia,"
"dia sudah kalah total sama Vietnam, dll."
Kenapa? Karena lompatan itu terlalu besar
karena kita drilling-nya terlalu cepat di awal.
"Bukan terlalu cepat, dengan format yang tidak menyenangkan."
Jadi filosofi dasarnya adalah sekolah itu harus menyenangkan.
"Dan kita mengambil pembelajaran di PAUD itu, Pak Gita,"
"dan kita ingin mentransfer itu ke SD, SMP, dan SMA juga, itu yang akan kami lakukan."
"Sekolah harus menyenangkan,"
"karena kalau tidak, apa yang anak pelajari di sekolah dari sisi konten, Pak Gita."
Itu tidak akan punya dampak yang berarti terhadap karir dia apa.
"Kalian di sini tahu, setelah selesai S1, masuk ke kerjaan,"
"kalian mulai dari awal lagi, belajar lagi."
Semua anak di bawah umur 35 sudah tahu ini.
Jadi kenapa kita harus menjelaskan Kampus Merdeka kepada orang.
"Yang paling penting adalah making lifelong learners,"
dan untuk itu Anda harus membuat sekolah menarik dan menyenangkan.
"Ketiga, sayangnya, buat PAUD, perlu alat peraga pembelajaran."
"Itu yang paling penting, karena susah dengan anak kecil,"
merangkul mereka tanpa itu.
"Jadi sarana prasarana permainan, alat permainan edukatif,"
itu sangat penting buat PAUD.
"Dan terakhir, yang terpenting adalah tool yang sama buat orang tua;"
"buku, buku, dan buku."
"Drive literasi kita, Pak Gita, sekarang."
Dan ini saya salah satu hal yang paling merepotkan
karena saya harus meyakinkan seluruh birokrasi
"bahwa saya tidak mau ada lagi untuk drive literasi kita,"
"buku-buku paket dan buku-buku kurikulum dikirim ke sekolah-sekolah, yang numpuk,"
"saya setiap kali ke daerah, itu numpuk debu di perpustakaan,"
"uang dihabiskan untuk buku-buku kurikulum nggak jelas,"
"ada buku bercocok tanam untuk anak umur 5 (tahun),"
"ini ditaruh di sekolah SMK, cocok."
– Sangat imajinatif.
"Saya nggak ngerti kenapa, tapi harus ngabisin dana BOS,"
karena ada alokasinya berapa persen.
"Jadi kita ganti itu. Sekarang literasi drive kita,"
saya mau bilang saya kepingin buku yang bukan buku yang disukai oleh orang tua
"atau yang menurut semua orang tua ini baik untuk anak,"
"saya hanya mau distribusi jutaan buku kepada anak-anak,"
"dan sekarang sudah jutaan program terbesar kita,"
sudah jutaan buku kita kirim ke berapa ribu sekolah ya sekarang?
12 juta buku kita distribusi.
Dan itu buku-bukunya adalah buku-buku yang anak kepingin baca.
"Anak-anak yang nggak ditunjukin pun, anak itu akan buka itu buku dan baca."
Nggak ada hubungannya dengan mengajarkan moralitas seperti
"“Ini adalah buku yang mengajarkan moral…”, tidak."
"Kalau kita targetnya mau literasi,"
"yang terpenting anak seru nggak baca itu, mau itu komik, apa pun,"
itulah sebenarnya literasi. Jadi itu.
– Keren!
"Oke deh, kalau lagi ngomong ini, ini tabrakan dengan"
anak-anak kita tuh nonton TikTok sama Instagram.
Saya agak-agak bersuara mengenai ini akhir-akhir ini.
"Saya mendidik anak-anak saya untuk nggak melihat HP (saat) lagi makan,"
itu perlu 4-5 tahun.
"Tapi sekarang mereka udah disiplin,"
"kalau kita lagi makan, anak-anak saya sudah otomatis nggak megang HP."
"Dan rata-rata anak-anak kita megang HP 9-10 jam,"
kebanyakan TikTok dan Instagram.
"Nah ini kan ada buku yang keren banget, ada TikTok yang kayaknya lebih keren."
"Nah gimana nih tabrakan ini, ngaturnya?"
"Bukan kayaknya, Pak Gita."
Ini satu hal yang saya suka selalu jelasin kepada orang tua.
"“Gimana nih anak saya kecanduan sama gadget, susah banget.”"
"Iya, kalau gadget aksesnya ada di situ, sudah jelas buku bakal kalah,"
"PR bakal kalah, lebih seram lagi, teman bisa kalah."
Itu lebih bahaya lagi.
Relasi kita sama anak kita bisa kalah.
"Nggak ada deh yang ngalahin gadget, sudah nggak bisa."
"Nggak ada yang bisa ngalahin psikologi antara apa yang YouTube, sama TikTok,"
"sama Instagram, atau game, ngelawan manusia"
"otak umur 5 sampai 15 tahun, itu nggak mungkin."
"Kalah, sudah pasti, otak remaja sampai ke apalagi anak balita."
"Anak balita umur 1 tahun itu sudah langsung …,"
"dia bakal kenal Android dalam waktu beberapa menit,"
"dan itu terlalu memukau, terlalu menarik buat dia."
Jangan melawan.
Jadi maksud saya adalah Anda nggak bisa menang.
Satu-satunya cara adalah menyingkirkannya.
"Jadi, di rumah tangga saya nggak ada itu gadget."
"Ya paling gadget boleh digunakan untuk foto Dada (Ayah),"
"mau-mau foto Dada, atau kita komunikasi sama nenek, dll.,"
"atau teman-temannya dia mau nelpon, boleh."
"Di luar itu, nggak ada itu gadget, nggak ada gadget."
"Saya ngasih layar, nggak masalah."
"Setiap hari, saya ngasih setengah jam nonton film sebelum tidur, boleh."
"Tapi rame-rame kita nonton sambil diskusi,"
"bacain, “Ada apa denngan Elsa? Apakah dia baik-baik saja?"""
Seminar Frozen itu sering.
"Saya punya 3 putri soalnya, jadi seminarnya itu Frozen,"
"kadang-kadang seminar My Little Pony, itu repot banget."
Saya nggak suka itu.
Kadang-kadang kita harus melakukan hal yang tidak kita sukai.
"Saya nggak suka My Little Ponny, nggak tahu kenapa."
Tapi terpaksa masuk ke dalam Rainbow.
Tapi nggak bisa buat orang tua.
"Jadi setiap wawancara, ya kenapa  dikasih."
“Oh iya karena kalau nggak dikasih anak saya meledak-ledak.”
"Ya gimana. Anda kasih anak Anda alkohol atau rokok atau narkoba, kasih nggak?"
"Nggak kan. Kalau kita ngomongin hal-hal seperti itu,"
"kita ada alasan kenapa enggak boleh anak-anak,"
"karena dia masih, otaknya masih berkembang."
Ya sama saja gitu. Jangan kasih dia obat itu dulu.
Kalau bisa dibatasi.
Tapi nanti sekolah gimana?
"Selalu alasannya itu, materi sekolah, dll."
"Oke, kalau rata-rata sekarang laptop dibandingin Android,"
harganya sudah mulai sama enggak?
Jadi itu juga bukan alasan.
"Kalau Anda bisa beli Android, Anda juga bisa beli laptop."
"Oke, untuk yang kriteria ekonominya rendah, memang tidak bisa, ini susah."
"Mungkin mereka cuma ada satu Android di rumah tangga,"
dan banyak masyarakat Indonesia.
"Tapi yang komplain ke saya bukan itu,"
"yang komplain ke saya adalah kelas menengah ke atas,"
mengenai ketagihan ini.
"Jadi menurut saya, kalau orang tuanya sudah ketagihan sama gadget,"
susah juga anaknya.
Jadi saya selalu ...
"tapi ibu bapaknya, saat makan malam, main gadget nggak?"
Langsung diam.
Jadi susah kalau satu keluarga ketagihan.
Tapi harus disingkirkan itu.
Orang banyak yang nggak percaya
saya tuh melihat HP nggak lebih dari 2 jam sehari.
– Ah masa? – Iya. Minggu lalu 42 menit per hari.
– Keren! - Iya.
"Saya lebih mendisiplinkan diri untuk lebih banyak baca buku, jurnal, dll."
"Saya sudah nggak baca koran lagi, sudah nggak melihat berita di TV,"
bisa sebetulnya.
Tapi nggak tahu gimana saya nggak tega sama anak.
"Dan ini kalau menurut saya, perlu dikeroyokin dari sisi rumah tangga,"
"pembuat kebijakan, politikus, dan masyarakat secara keseluruhan"
untuk kebaikan kita ke depan.
"Oke deh, kita maju, karena kalau ngomongin TikTok ini banyak yang marah."
"PISA, ini kan salah satu ukuran,"
kapan sih kita itu bisa sama dengan Vietnam
sebelum kita sama dengan Singapura
ukuran penguasaan bahasa dan STEM untuk anak-anak umur 15 tahun?
"Skor kita  masih kurang dibandingkan Singapura, dibandingkan Tiongkok, dll."
"Ada nggak peta jalan apakah ini relevan kalau anggaplah ini semi-semi relevan,"
peta jalannya ke depan gimana untuk kita benar-benar bisa merangkak
dan syukur-syukur nyalip?
Pertanyaan bagus.
Yang pertama adalah kita nggak bisa nyalip
tanpa ekonominya (atau) PDB per kapitanya mendampingi.
"Jadi nggak ada negara miskin yang punya sistem pendidikan hebat,"
itu nggak ada di dunia.
Jadi semua itu sama PDB per kapita korelasinya sangat tinggi.
"Jadinya ekonomi kita harus bagus, baru kita …"
"Jadi kalau mau menandingi Singapura, PDB per kapita kita harus mendekati Singapura."
Dan mustahil.
– Doa saja. – Jadi lupakan.
Tapi kalau kita melihat kayak kotak-kota di Indonesia
itu menyamai beberapa kota-kota di Eropa.
"Kalau  kita melihat skor PISA-nya Jakarta dan Jogja,"
"itu sama dengan beberapa kota-kota, mungkin kota kecil ya, di Eropa."
"Jadi kita jangan salah, masalahnya distribusinya."
"Tapi semuanya, sekali lagi, link-nya kenapa kota?"
Ekonomi. Jadi pertama itu.
Ada caveat-nya.
Jadi kita harus bandingin diri kita
dengan negara-negara yang PDB per kapitanya sama.
Kita dalam liga itu.
"Pas kita di situ, sekarang pertanyaannya adalah"
bagaimana kita meningkatkan angka ini.
"Semua yang mau kita lakukan, dan tadi Pak Gita nanya, “Apakah ini penting?”"
"Iya, sangat penting."
"Itu alasannya kenapa kita mengubah yang namanya Ujian Nasional kita hilangkan,"
dan kita gantikan dengan asesmen nasional.
Asesmen nasional itu sangat mirip dengan PISA
karena itu fokus kepada asesmen  numerasi dan literasi.
"Jadi jangan lupa saking pentingnya PISA,"
"jadi bayangin, Pak Gita, kita selama ini bingung kenapa kita PISA-nya drop terus,"
tapi instrumen yang kita gunakan untuk mengukur sistem pendidikan kita
nggak nyambung sama sekali dengan instrumen global dunia.
Jadi kita salah satu negara pertama yang nyambung sekarang dengan standar dunia
dengan mengikuti asesmen nasional.
Dan kerennya adalah kita negara pertama
yang memasukkan survei karakter secara nasional
"di mana intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan"
itu masuk dalam asesmen nasional.
Kita bisa mapping setiap sekolah dan setiap pemerintah.
Itu negara pertama yang sampai jadi contoh di UN waktu itu.
"Kalau itu buat saya, saya sangat bangga."
Kita berani melakukan sesuatu seperti itu.
"Tapi gini, balik ke pertanyaan: apa yang akan meningkatkan angka ini?"
Semua program kita goal-nya untuk meningkatkan angka.
"Kapan akan meningkatnya, itu yang susah menjawabnya."
"Kemungkinan besar, dan ini makanya kenapa jawab ini sangat miris, Pak Gita,"
"adalah hasil ini pasti mulai kelihatan,"
"satu, kalau diteruskan, dan sudah pasti 10 tahun dari sekarang mulai kelihatan,"
"mungkin 8-10 tahun. Saya sudah nggak ada di sini,"
saya 2 tahun lagi kan sudah nggak ada.
– Siapa tahu.
"– Jadi itu yang buat saya frustrasi,"
kita nggak akan bisa melihat hasil ini.
"Jadi yang pertama adalah ukur yang terpenting dulu,"
"ukur numerasi dan literasi,"
sehingga sinyal kepada semua kepala sekolah dan guru adalah …
"seberapa anak-anak itu dijejelin informasi disuruh menghafal,"
tidak ada dampak sama sekali terhadap apa yang kita ukur kinerja kalian.
Itu yang pertama.
"Mau dijejelin berapa, di-drill, mau bimbel sebanyak apa"
"sampai semua informasi dia punya, itu tidak penting."
Yang penting adalah apa yang itu anak bisa lakukan dengan informasi di depan dia.
Itulah tes numerasi dan literasi.
"Kita kasih suatu konteks, suatu problem, anak itu bisa nggak mencari solusi"
"dari informasi yang ada di depannya; aptitude test, problem-solving test."
Itu sebenarnya pesan pertama yang benar-benar berubah segalanya.
"Jadi setiap guru di daerah ini sedang belajar apa itu literasi,"
"apa itu numerasi, kebingungan di mana-mana,"
"apa ya namanya, tapi dalam kebingungan itu mereka terpaksa belajar, “Oh itu!”"
"Prosesnya yang penting, bukan kontennya."
"Cara belajarnya, cara critical thinking itu tercipta dengan diskusi, dengan bertanya,"
"dengan memberikan berbagai macam permutasi problem, itu pertama."
"Kedua, Kurikulum Merdeka ini adalah langsung dampaknya ke PISA."
"Karena yang pertama, Kurikulum Merdeka itu ada 3 perubahan besar yang kita lakukan."
"Yang pertama adalah materi konten di kurikulum, kita pangkas 30%-35%."
"Kita pangkas, kita bilang, nggak perlu sebanyak ini materi,"
mendalami saja di setiap materi yang esensial.
"Itu yang pertama. Yang kedua, yang kita lakukan adalah"
"setiap guru, pertama kalinya dalam sejarah Indonesia,"
diberikan hak untuk mundur atau maju sesuai dengan kompetensi muridnya.
"Jadi ini keanehan luar biasa sistem pendidikan, di mana guru, misalnya, di Papua"
"di kelas 6, harus mengajar di level yang sama anak Jakarta Selatan."
Ini nggak masuk akal sama sekali.
"Ini kenapa waktu World Bank menilai,"
"akhirnya semua anak-anak di Maluku dan Papua,"
"mereka 2 tahun ketinggalan, ada yang 3 tahun ketinggalan,"
"karena kejar tayang, “Ayo lanjut.” Gurunya dipacu kejar tayang kurikulum."
"Sekarang di Kurikulum Merdeka, guru itu boleh melambat,"
"dia boleh mundur 2 tahun ke belakang, kalau dia mau,"
dan juga dia boleh maju.
"Jadi guru-guru yang satu grup anak-anaknya sudah lebih maju,"
dia boleh masuk ke tahun berikutnya dan seterusnya.
"Jadi bayangkan bagaimana game-changing itu, bahwa guru."
"Dan satu lagi yang berubah adalah guru itu diberikan hak untuk,"
"tadinya, Pak Gita, jadwal sekolah itu ditentukan oleh pemerintah pusat per minggu."
"Bayangin, setiap sekolah di Indonesia"
"ditentukan harus berapa jam mata pelajaran ini,"
"berapa jam Bahasa Indonesia, berapa jam Matematika, dll., per minggu."
Sekarang kita ubah rentang waktunya per tahun.
"Jadi kalau ada sekolah ingin memastikan ada kelas,"
"guru kelas SD, ingin memastikan bahwa anaknya semua di sini"
"mengerti segitiga—geometri,"
"dia boleh satu minggu hanya fokus di segitiga itu,"
agar semua anak nggak ada yang ketinggalan.
Jadi itu adalah memberikan kemerdekaan itu
kepada guru kembali luar biasa powerful-nya.
Dan yang ketiga adalah kita mengambil 20% dari waktu sekolah di dalam kelas
untuk keluar kelas melakukan project-based learning
yang difasilitasi guru-guru.
"Proyek perubahan iklim, proyek kayak bersihin sekolah,"
proyek seperti jaga warung.
"Ada satu orang tua bilang, “Anak saya pulang dari sekolah, Mas Menteri,"
"dia jaga warung, disuruh ngitung-itung. Dari warung sekolah.”"
Itu bagian dari proyeknya Kurikulum Merdeka. Dia belajar.
“Gimana anaknya sengsara enggak?” “Enggak. Dia senang banget.”
"Tentu senang, karena melakukan hal yang bisa diterapkan, dia merasa berdaya."
"Jadi perubahan iklim menjadi tema salah satu yang terpenting dalam ini juga,"
sebagai salah satu proyek.
Itu semua adalah bagaimana kita akan memberikan potensi
agar semua belajar sehingga angka PISA naik.
"Yang terakhir adalah guru, dan ini yang terbesar dari semua."
Guru ada tiga pronged (strategy).
Kita menciptakan suatu aplikasi buat guru namanya platform Merdeka Mengajar.
Ini platform adalah kampus online buat guru untuk meningkatkan kapasitas diri
kapan pun dia mau.
"Kedua, ini platform untuk mengunggah untuk dia berbagi praktik baik"
kepada guru-guru lain.
Karena guru belajar yang terbaik dari guru lainnya.
Ini suatu mitologi bahwa Kementerian
bisa mengajarkan guru-guru cara mereka sendiri.
"Tidak, itu tidak benar."
"Jadi guru itu sama seperti musisi, sama seperti orang teater,"
"sama seperti skill apa pun di engineering,"
mereka belajar dari rekan sejawat mereka
yang lebih pengalaman dan lebih jago dari mereka.
Mereka belajar mentorship.
Jadi kita menciptakan suatu platform
di mana guru-guru ini bisa membentuk grup digital online
untuk saling berbagi praktik baik. Jadi mereka saling belajar.
"Sekarang lebih dari 2.500 komunitas eksis secara virtual, hibrid, sekarang"
untuk membangun komunitas belajar ini.
"Dan sudah 1,6 juta guru di platform ini berbagi dengan men-download dan upload."
"100.000 upload, Pak Gita."
"Guru ngerekam dirinya melakukan sesuatu,"
"unggah, di-share, lalu orang-orang lain mengunduh."
Jadi menciptakan komunitas belajar digital.
Dan di luar itu ... Itu in teacher training.
"Dan kemudian, PPG."
"Program PPG adalah guru baru, darah baru,"
"darah baru itu harus udah punya mindset yang benar,"
tesnya harus kita perketat
"dan dia harus punya kapabilitas untuk mengerti misalnya disabilitas,"
"karena disabilitas itu ada di semua sekolah,"
nggak mungkin semua SLB kita akan bisa menampung.
Kebanyakan sekarang anak-anak yang disabilitas
"dibilangnya anak bodoh saja, itu mayoritas, undiagnosed."
"Anak-anak ADHD berapa besarnya di Indonesia,"
"nggak ada yang tahu, guru-gurunya mengira mereka anak bodoh"
"atau disruptif, anak bandel."
Jadi hal-hal seperti itu yang harus kita tangani satu per satu.
"Ada banyak lagi, tapi butuh waktu,"
tapi kira-kira itu beberapa pronged strategy kita
"untuk meningkatkan angka literasi dan numerasi, yaitu PISA."
"– Dulu waktu saya sempat sekolah di luar negeri,"
"itu anak-anak Indonesia yang sekolah di negara itu, di Amerika,"
itu jumlahnya 16.000.
Sekarang di Amerika itu dibawah 9.000.
"Dulu di tahun 1980-an, jumlah orang dari Turki, Korea Selatan, dll.,"
hampir sama dengan kita. Tapi sekarang kalau kita hitung
"Korea Selatan itu di atas 100k, Turki di atas 100k, India 150k-200k,"
Tiongkok 450k.
"Tiongkok ini kan negara yang sudah, sebagai peradaban,"
"berjuang selama 4.000-5.000 tahun,"
"tapi masih saja haus untuk mencari ilmu di tempat mana pun,"
"di Eropa, di Australia, di Amerika."
Kapan sih atau gimana untuk kita bisa melihat orang-orang Indonesia
belajar di manapun dengan skala.
Dan ini saya mau bungkus dalam dimensi yang terakhir yaitu teknologi.
"Kalau kita mau belajar teknologi,"
"mungkin di Indonesia, oke, tapi di luar juga banyak tempat-tempat yang oke,"
"Sillicon Valley, Hangzhou, atau di mana."
Saya mendambakan kapan Indonesia bisa ada representatif
yang belajar di universitas dengan skala yang besar.
"Karena kalau kita ekstrapolasikan 10, 20, 30 tahun ke depan,"
"itu akan sangat nyata mengubah bangsa, negara, dll."
Realistis nggak sih untuk ada 150.000 orang Indonesia
"di Eropa Barat belajar, di Amerika belajar,"
"dananya ada, terus keinginannya ada, niatnya ada kapasitas, dll., ada nggak sih?"
"– Menurut saya, sangat realistis, sangat bisa diraih."
"Kita punya 7 juta dolar dana buat pendidikan namanya LPDP,"
yang baru saja Kemendikbud membantu mengelola sekarang.
"– Maaf, saya potong 2 detik."
"Saya kemarin, saya akhir-akhir ini di West Coast,"
"itu ada volunteer, anak Indonesia yang sekolah di salah satu universitas,"
program Merdeka Belajar.
– Program IISMA namanya. – Iya. Keren nggak?
"Saya sampai terkaget-kaget, ini orang bela-belain dari jauh"
"mau selfie sama saya, terus mau bantuin saya untuk rekaman Endgame, dll.,"
"tapi begitu kita tanya,"
"“Pak, saya adalah penerima manfaat dari programnya Mas Menteri.”"
"Kalau nggak begini, dia nggak akan bisa dari Jogja sampai sana,"
"terekspos dengan budaya yang baru, sistem pendidikan yang beda, dsb."
"Reaksi saya, gimana ini dimultiplikasi dengan kelipatan yang jauh lebih gede."
"– Sejujurnya kita dengan semua keterbatasan anggaran kita, Pak Gita,"
"semua ini bisa diraih dengan uang dan political will, bisa banget."
"Jadi yang kita lakukan adalah kita ""merangkul"" LPDP sekarang"
"bagian besar dari itu, management and operational itu"
"kami programnya di Kemendikbudristek,"
dan kami memikirkan kalau KPI kita adalah berapa jumlah anak
yang pergi mendapat pengalaman internasional
atau pengalaman yang relevan di luar kampus.
"Jadi buat kita simpel, jadi kita bikin namanya program IISMA,"
kita bikin dua program. Jadi ada dua.
Kebanyakan selalu solusinya adalah
"bagaimana kita membuat anak-anak diterima full degree program di Amerika, di Eropa."
"Tapi ini terlalu lama. Karena, satu, nggak banyak yang diterima,"
selalu dibatalkan. Jadi threshold untuk masuk
"full degree program di program-program terhebat kita,"
itu sangat tinggi barrier-nya.
Dan bukan karena kita nggak punya anak-anak hebat.
"Salah satu hal yang kita buktikan kemarin adalah kenapa mereka nggak masuk,"
"jadi kita mengambil cohort anak-anak SMA yang terbaik, lalu kita bilang,"
“Oke saya akan kasih kamu beasiswa LPDP buat S1
kalau kamu ikutin program kita dan kamu daftar.”
"Yang tadinya nggak mau daftar, akhirnya daftar."
Itu dia naik berapa kali lipat? 8 kali lipat acceptance rate-nya dari rata-rata.
"Jadi ternyata ini adalah perihal masuk ke universitas, Pak Gita."
Tentu bisa. Tinggal kita kasih dia coach counseling
"yang tadinya cuma buat anak-anak orang kaya,"
"kita kasih kepada mereka. Ini anak-anak dari daerah, dll.,"
"kita kasih sumberdaya yang sama seperti anak orang kaya yaitu coaching, SAT, dll.,"
"kita kasih, ternyata masuk. Rasio masuknya tinggi."
Jadi itu adalah salah satu program kita untuk masuk full time degree.
Tapi kan pelan dan anggarannya mahal
untuk biayain anak 4 tahun di Amerika
itu kalau nggak salah konversinya adalah 200 anak.
"Oke, itu satu. Program IISMA, itu inovasi kita, Pak Gita."
"Kita akhirnya memutuskan, oke ini kelamaan"
kalau kita harus nunggu full degree program.
"Jadi kita buat program di mana kita memecahnya menjadi potongan-potongan kecil,"
"satu semester di luar negeri (exchange abroad),"
karena itu pun dampaknya itu zero to one nya luar biasa
"dari satu semester saja, mengubah pandangan hidup."
"– Dari kampung tiba-tiba “pussshhh…” – Ya, lebih murah, lebih aksesibel,"
"jauh lebih banyak orang yang bisa karena kita sekarang bisa menskalakan,"
"tapi itu namanya program IISMA, sudah 2000 sekarang per tahun kita kirim."
Perlu dana untuk meningkat ke 5.000-10.000.
"Dan secara bertahap, 150.000, itu bisa banget."
"Ngomong-ngomong, tunjangan yang dikasih oleh Mas Menteri"
itu cukup untuk traktir saya makan di Amerika kemarin.
"– Wah! Saya harus cek lagi, kayaknya kebanyakan tuh."
"– Enggak. Di Burger King. – Pak Gita bisa aja, masa ditraktir, Pak Gita."
Dia kukuh banget mau bayar.
"“Saya mampu, Pak. Tunjangan saya cukup, Pak.”"
"“Waduh ini menterinya keren banget nih,” saya bilang."
"De, kemahalan tuh, kurangin dikit."
"Enggak. Burger King, bukan steak."
"Tapi begini, saya mau kupas lebih dalam lagi."
"Tapi gimana, ngebayang nggak sih kalau kita itu bisa membuat pedoman"
1 juta anak-anak muda lulusan SMA dibimbelin
"untuk bisa menguasai bahasa apakah itu Mandarin dalam 3 bulan,"
"bahasa Inggris dalam 3 bulan,"
"habis itu di bimbel untuk belajar SAT, GMAT, GRE, 3-4 bulan,"
terus dibimbelin untuk ngambil Olimpiade.
Saya itu baru ngomong sama teman-teman …
- Itu termasuk program kami.
- Oke. Tapi 1 juta. – Masih skala kecil.
"Oh iya. 1 juta, jebol anggaran, Pak."
– Makanya. Ini agak gila. Mikir gila dikit.
"Tapi gimana untuk kita bisa melihat ada 150.000 orang di Jerman,"
"150.000 orang di Hangzhou, 150.000 orang di Amerika Serikat,"
"mungkin 75.000 di Australia,"
pokoknya tempat mana pun supaya kita bisa lebih keren.
"– Tapi saya boleh challenge nggak, Pak Gita?"
– Ini justru wawancara bukan debat. – Enggak.
Satu hal yang saya kepingin sedikit tantang adalah
"oke, universitas asing hebat-hebat itu keren,"
"tapi sekarang di Indonesia,"
"sejak Kampus Merdeka, 420.000 mahasiswa sudah meninggalkan kampusnya"
"untuk mengerjakan suatu hal di luar kampus,"
"apakah itu produk IISMA atau dia masuk unicorn,"
dia masuk pelatihan teknologi di industri
"atau dia mengajar di satu SD di daerah satu semester, dll."
"Jadi ada yang nonprofit, ada yang industri, dll."
"Nah, sekarang coba kita bandingkan apple to apple,"
"prospek ke depan, value antara, oke kita ngambil top school, Pak Gita,"
"saya nggak mau sebut, nanti dimarahin orang-orang."
"– Pilih sekolah, sekolah Anda. – Takut dilempar tomat."
"– Oke, Stanford lah ya. – Oxford."
"Sekarang bayangin satu semester di Oxford, program terkeren"
"PPE (politics, philosophy and economics) atau biotech engineering."
"Sekarang bayangkan, bandingkan itu dengan anak ini satu semester"
kerja di salah satu multinasional biotech di sini
"sedang mengerjakan program riset vaksin mRNA di sini,"
itu bisa sekarang dengan Kampus Merdeka.
"Bandingin belajar di MIT, Ilmu Komputer versus satu semester di Traveloka,"
bootcamp engineering. Jadi mana nih?
"Jadi, saya nggak tahu jawabannya,"
"tapi saya pikir kenapa kita melakukan ini MSIB,"
"magang bersertifikat dan studi independen semua program-program,"
kenapa kita membuat seluruh korporasi kelas dunia
menjadi kredit di universitas selama satu semester
"adalah kita punya naluri, Pak Gita, bahwa ini terlalu pelan"
"kalau kita coba melakukan transformasi kita nunggu semua universitas bertransformasi,"
"terlalu pelan. Kita harus membuat pengalaman sarjana itu,"
universitas itu memfasilitasi dan mengurasi pengalaman multi sektor sebelum dia lulus.
"Biar itu anak keluar, sekarang, bayangin ada anak-anak yang lulus, Pak Gita,"
dia sudah mengajar di daerah kepulauan di Maluku selama satu semester sendiri.
"Setelah itu, program keduanya, dia ngikutin program Bangkit Google"
"di mana dia belajar data science, proyek nyata."
"Semester ketiganya dia mau ngambil entrepreneurial study independent,"
"di mana dari hasil Google Bangkitnya dia, dia bikin bisnis sendiri."
Itu mahasiswa super.
"Dia keluar dari itu, dibandingin kalau dia cuma 8 semester di Prodi"
"dengan semua latar belakang tekniknya dia yang dia belajar dari dosen-dosen,"
"itu semua digabung, dia jadi super human,"
"dia jadi kuat, keluar."
"kelihatan pada anak-anak lulusan MSIB,"
itu diambil sama industri jauh lebih cepat.
Kayak dalam waktu 1 bulan diambil.
Gajinya sampai 2 - 3 kali dari rata-rata nasional.
"Jadi menurut saya, terlalu pelan,"
"kenapa Kampus Merdeka kita lakuin, kita harus melompat,"
"karena saya udah capek banget, Pak Gita,"
"Indonesia ngejar ketertinggalan terus, sudah capek narasi itu."
"Sekali-sekali, ""Saya mau jadi pemimpin,"" gitu loh."
Jangan jadi potensi saja.
– Iya. – Top.
"Saya dan kita semua nggak mempertanyakan arahnya,"
"kita hanya gemas saja kenapa nggak skalanya ditingkatkan,"
"kecepatannya ditingkatkan, itu saja."
Anda sudah di jalur yang benar.
"Ada beberapa hal yang mungkin perlu disempurnakan,"
tapi arahnya ini sudah oke banget.
"Tapi saya pingin banget, satu hal yang saya, secara vokasi ya,"
Anda itu produk dari kesempatan atau peluang
untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa internasional.
"Dan kurang dari 10% dari populasi kita punya paspor,"
kurang dari 10% dari populasi kita itu bisa bahasa internasional.
"Ngebayang nggak sih kalau 100 juta orang Indonesia bisa Bahasa Inggris,"
"100 juta orang Indonesia bisa Bahasa Mandarin,"
- 100 juta orang Indonesia … - Sudah game over itu.
– Game over.
"Jadinya kalau kita berhadapan sama orang India, selesai."
"Mereka jago ngecap kayak apa, tapi kita ngecap balik."
"Orang Singapura jago ngecap kayak apa, kita kecap balik."
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri gimana ada seorang bapak-bapak, ibu-ibu,"
"atau anak dalam dua-tiga bulan, yang tadinya nggak bisa bahasa Inggris,"
"dalam 2 bulan bisa bahasa Inggris,"
dapat kerjaan sebagai concierge hotel bintang 3 di Indonesia bagian timur.
"Satu, dia bisa naruh makanan di atas meja untuk 6 anggota keluarganya."
"Yang kedua, dia mikir dia sudah jadi kayak Captain America,"
"dia sudah bisa terbang, karena keyakinannya itu termanifestasi"
dalam apa pun yang dia mau raih ke depan.
"Itu sebetulnya low hanging fruit kan,"
untuk ngebiayain gimana 100 juta orang bisa bahasa internasional.
Itu nation-building kalau menurut saya.
"– Saya setuju banget sama Pak Gita bahwa itu game-changing,"
"itu low hanging fruit, nggak sih."
"- Nggak gampang. - Karena kita sedang mengerjakan itu Pak Gita,"
"sedang merancang desain, kita sedang merancang program gimana ..."
"tadi kita memikirkan, ada beberapa opsi,"
"apa kita mandatkan bahasa Inggris itu wajib di SD,"
"karena sekarang kan wajibnya baru di SMP-SMA, oke itu satu opsi."
"Ada juga opsi kedua bahwa nggak ada gunanya kita paksain di SD,"
itu akan bikin semua orang akan cari orang yang nggak bisa ngajar Bahasa Inggris
"untuk menjadi guru bahasa Inggris,"
"yang mana realita untuk banyak sekali sekolah di Indonesia,"
bisa dibilang mayoritas.
"Jadi kita lebih mengarah sekarang,"
"dan ini saya juga tiap malam mikirin ini, Pak Gita,"
gimana caranya kita bisa bikin Bahasa Inggris
"yang paling lowest common denominator, dampaknya paling besar."
"Oke, boleh Mandarin, tapi Bahasa Inggris tetap nomor satu."
"Nah, menurut kami cara terbaik adalah"
untuk memberikan akses kepada seluruh guru-guru bahasa Inggris
yang sudah ada sekarang
kesempatan untuk belajar dari native atau semi-native speakers
"dan untuk mereka benar-benar kita tingkatkan kemampuannya,"
itu lebih berskala menurut kita daripada memaksa semua anak
atau membayar bimbel.
Jadi return on investment dari menjadikan suatu guru Bahasa Inggris
yang sudah ada di sekolah
"menjadi dia dua kali lebih hebat sebagai guru,"
itu dampaknya kepada anak-anak dan generasi berikutnya jauh lebih besar.
Jadi manfaat dari melatih guru itu lebih tinggi berkali lipat.
"Jadi uang kita, kita kepingin alokasikan di situ."
Makanya kenapa saya bilang ini bukan low hanging fruit adalah
karena pasok untuk orang melatih saja guru ataupun murid itu sangat kecil
yang terkualifikasi. Jadi nanti kita mau bikin standar asesmen
"kalau mereka lolos, mereka bisa mengajar."
Tapi saya sangat setuju.
"Bayangin kalau kita punya remitennya Filipina,"
tapi SDA-nya kita.
Itu sudah bayangin dengan seluruh BPO market
itu sudah game over kita jadi benar-benar giant.
"Plus, teknologi terbarukan kita."
"Ini keren. Anda benar, kuncinya adalah bahasa Inggris."
– Kapan kita itu akan ada keterbukaan
untuk mengisi slot guru
yang sangat dibutuhkan untuk mendidik anak-anak kita
yang harus didatangkan dari luar negeri?
Kapan kita bisa mendatangkan pemenang Nobel dari Afrika
untuk bisa ngajar di kampus di Sumedang?
– Sekarang sudah bisa.
"Kita bukan bukan kayak dokter. Dokter kan nggak boleh praktik di sini, di luar."
Guru boleh.
– Kapan kita bisa lihat dengan skala yang benar-benar nyata?
"– Susah. Yang mampu membayar mereka adalah sekolah-sekolah swasta,"
sekolah kaya di Indonesia.
"Jangan salah ya, mayoritas sekolah swasta di Indonesia"
adalah sekolah yang lebih miskin dari sekolah negeri.
Jadi ini suka orang salah.
"Orang Jakarta selalu mikirnya sekolah swasta itu sekolah orang kaya,"
"tapi nggak, mayoritas swasta kita adalah yang malah lebih miskin lagi"
"dari sekolah-sekolah negeri kita, karena dulu ada UN, Pak."
Nanti jelasinnya. Itu salah satu hal yang membuat diskriminasi
"semua orang yang nggak mampu bimbel,"
"nggak mampu anak itu malah masuk sekolah yang harus bayar iuran,"
orang yang dapat angka bagus
"karena orang tuanya lebih mampu, semuanya masuk sekolah negeri yang gratis,"
itu makanya UN itu jahat banget dulu.
– Dengerin tuh. – Jahat banget. Semua sudah tahu.
"Di sini semua senang dihilangkan UN, iya kan?"
"Itu salah satu, jarang-jarang ada kebijakan yang benar dan populis"
secara bersamaan. Jadi itu kebijakan pertama saya.
Tapi susah karena biayanya.
"– Oke kalau biayanya itu menjadi alasan, saya nggak mau berselimut di bawah alasan."
Maaf ya. Boleh dong agak-agak ini dikit.
Tapi kita harus berorientasi hasil.
Kalau kita pingin ahli biologi di Indonesia itu dididik oleh orang yang paling keren
di seluruh dunia
"dan dia mungkin harus didatangkan dari Ethiopia, dari Ukraina, dari Liverpool,"
"dari Nebraska, bodo amat."
Tapi kita harus pastikan.
"Ini seperti apa yang dilakukan Singapura, kan."
"Kalau toiletnya pecah, ya kita nggak usah beli baru,"
"tapi kita pastiin ada tukang toilet yang jago bisa benarkan ini, kita bayar,"
kita jabanin.
"Nah itu, waduh kalau itu bisa kejadian, keren."
"– Waktu saya keliling-keliling Amerika, waktu itu setelah UN,"
"itu saya jualan proyek riset sama universitas kita,"
"sama berbagai universitas top, George Town, MIT, Harvard, dll."
"Jadi, mau dikasih uang pun akademi-akademi top di dunia"
"nggak peduli, Pak."
"Mereka itu kepinginnya sebenarnya melihat ada peluang riset yang menarik,"
ada isu yang menarik. Jadi itu saya bukan jualan dana.
Mereka tertarik kalau ada pendanaan riset mereka.
Tapi itu juga … Jadi kita ini sekarang sedang merancang
"struktur insentif,"
kita kan ada berbagai macam struktur insentif sekarang.
Sudah ada insentif buat matching fund dari industri
yang program insentif yang paling berhasil
"untuk industri ke universitas,"
"ada praktisi mengajar, 6000 praktisi sekarang mengajar dengan dosen"
dan dibayar oleh kita.
"Ada satu lagi program insentif yang lagi digodok, Pak Gita,"
yang mengenai bagaimana caranya kita bisa melibatkan periset atau peneliti
"dari institusi top untuk mengambil dan berkolaborasi dengan periset kita,"
"post-doc kita, asisten riset kita,"
"untuk mengerjakan riset di sini ataupun di luar negeri, kita tidak peduli."
"Kalau risetnya di luar negeri pun yang penting ada tim kita gabung sama mereka,"
"ada orang Indonesianya,"
post-doc di sana. Karena SDM yang mau kita latih.
Jadi kita mulai dari langkah kecil
"tapi bagusnya, kabar baiknya adalah"
Indonesia itu adalah benar-benar wonder world buat riset.
"Apa pun yang sekarang lagi hot, kita punya."
"Kita punya dari aspek maritim, apa pun, perubahan iklim, kita ada."
Negatif dan positif. Dan itu yang menarik buat mereka.
"Kita punya hutan hujan tropis, kita punya kehilangan hutan hujan tropis,"
"kita punya biodiversitas bawah laut,"
"kita punya pemutihan karang, kita punya masalah demografi,"
"kita punya dampak perubahan iklim yang bisa mewakili berbagai macam ekosistem,"
kita punya pokoknya semuanya ada deh di sini
yang bisa dibuatkan riset.
Jadi itu saya jualan ke luar negeri buat membawa interest mereka ke Indonesia.
"Tapi berkembang, baru mulai sekarang interest-nya universitas,"
ada Monash mau set up di sini
"kemarin kita ngomong dengan yang lain saya nggak boleh sebut siapa,"
"tapi sejak Monash masuk, itu ngantri loh sekarang."
"Giliran yang pertama masuk dulu, dilihat dulu, ini orang cedera nggak."
"Tapi dilihat-lihat, oke, Monash oke, yang lain baru keluar akhirnya."
Pertama kali loh kita punya universitas asing Indonesia.
- Gila kan? - Keren banget.
Tapi kenapa nggak dari sebelum-sebelumnya.
Nggak ada satu pun.
Pokoknya kita berdoa supaya Nadiem tetap ada Dikbud.
"Tapi ini waktunya masih ada, kan? Gimana, panitia?"
Masih oke sampai jam 9?
"Tapi gini, kalau kita bungkus dalam apa yang kita saksikan"
"selama 30 tahun terakhir,"
perbandingan pertumbuhan PDB per orang di Asia Tenggara
"dibanding di Tiongkok,"
"Asia Tenggara itu tumbuhnya PDB-nya cuma 3x lipat dalam 30 tahun terakhir,"
Tiongkok 10x lipat.
Yang membedakan Tiongkok dari atau dengan Asia Tenggara
"itu sebetulnya nggak banyak, cuma 4 hal;"
"kurangnya investasi di infrastruktur yang udah digeber sekarang di Indonesia,"
"kurangnya investasi di pendidikan yang sudah mulai digeber,"
yang ketiga adalah persaingan.
"Jadinya di Tiongkok, dia bisa ngeluarin izin per seribu orang itu 9 izin,"
"di Indonesia 0,3."
"Itu mungkin berkorelasi dengan beberapa hal,"
salah satunya adalah fulus atau kurang duit.
"Terus dua, juga mungkin pengambilan ririko."
"Nah, yang terakhir mungkin pemerintahan."
"Saya melihat dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini dan ke depan di Tiongkok,"
ini ada peluang emas untuk Asia Tenggara khususnya Indonesia
untuk bisa tumbuh jauh lebih besar daripada 3x lipat PDB per orangnya
30 tahun ke depan. Apalagi dengan use case yang keren banget
untuk kepentingan peningkatan produktivitas
yang berkorelasi dengan pendidikan
"di 3 sektor yang nyata deh salah satunya tentunya marketplace,"
Anda di sana sebelumnya.
"Yang kedua, jasa keuangan. Tiga, aviasi."
"Dari situ saja kita bisa melihat, dengan low tech saja,"
"dengan enabling dari low tech saja, ini sudah bisa digenjot produktivitas"
apalagi dengan high tech yang bakal kejadian
dalam 5 - 10 tahun ke depan.
Terus apalagi kalau kejadian dengan sektor-sektor lainnya
"pertanian, pendidikan, kesehatan, pariwisata, properti, dll.,"
ini gila loh peluangnya untuk anak-anak muda ke depan.
"Dan ini kan harus dikeroyokin dari sisi pendidikan,"
"dari sisi pembangunan infrastruktur, dll."
Gimana nih endgame ke 2045?
"Anggaplah 2045 itu kan 23 tahun dari sekarang,"
PDB per kapita kita mestinya naiknya jauh lebih gede daripada 3x lipat.
"Nah, ini kalau menurut saya, kuncinya ini pendidikan."
"Yang lain penting, tapi nggak sepenting pendidikan."
– Boleh jujur nggak?
"Menurut saya, pendidikan salah satu yang terpenting."
"Kalau dibilang paling penting, menurut saya, agak susah,"
karena pendidikan sama derajatnya dengan berbagai macam kebijakan lain
yang akan melepaskan.
"Jadi misalnya gini, kalau kita punya kebijakan ekonomi atau industri"
"yang luar biasa ramah,"
"yang mengundang investasi sebanyak mungkin,"
"fleksibilitas di labor market kita, dll.,"
"mau sekolahnya nggak bagus-bagus juga,"
lapangan pekerjaan itu akan menciptakan berbagai macam kesempatan.
"Tapi sama juga, kalau itu semuanya tumbuh,"
"tapi sekolahnya tidak menimbulkan talenta itu,"
"dia bakal impor talenta dari luar, gitu kan yang akan terjadi."
"Jadi bukannya saya nggak mau bilang bahwa pendidikan adalah yang terpenting,"
saya bilang terlalu banyak co-dependency lainnya kepada proses itu.
Tapi pendidikan salah satu yang terpenting menurut saya.
Satu hal yang harus diingat selalu dalam pendidikan adalah
tidak bisa kita membuat sistem pendidikan yang hebat
tapi ekonominya nggak jemput bola.
Itu benar-benar saya harus selalu mengingatkan orang yang bilang bahwa
"ini solusi semua,"
"salah satu hal yang menyenangkan mengenai jadi Kemendikbud,"
"menjadi Mendikbud, Pak Gita,"
adalah semua kesalahan yang terjadi di Indonesia disalahkan ke saya.
"Korupsi, pendidikan; bakar hutan, pendidikan;"
"COVID, pendidikan; semua disalahkan pendidikan."
Jadi itu satu hal yang harus saya hadapi.
"Tapi menurut saya, ada berbagai macam faktor yang bisa mencapai itu."
"Tapi endgame-nya, kok jadi balik ke podcast,"
"saya rasa endgame-nya adalah kalau dari sisi SDM,"
bagaimana secepat apa Indonesia melakukan inovasi
dalam institusi-institusi pendidikannya.
Kita punya kesempatan yang emas karena baseline kita ini masih cukup rendah.
Itu mungkin dilihat sebagai kelemahan.
Tapi saya melihat itu sebagai kelebihan.
"Kalau kita baseline kita masih cukup rendah,"
risiko kita untuk mencoba hal-hal baru juga rendah.
"Kalau kita sudah sistem pendidikan yang hebat, tinggi,"
"bakal lebih kaku, konservatif dan saya akan dilawan semua orang"
"dalam melakukan perubahan itu, “Sudah bagus, ngapain diobrak-abrik?”"
Tapi karena kita baseline-nya masih cukup rendah
dibandingkan ekonomi kita yang lumayan cepat perkembangannya
ini menjadi window.
"Seperti COVID, Pak Gita, waktu COVID itu terjadi, itu window buat kita."
Oke ini semua lagi babak belur.
"Benar kan, kita harus benar-benar semua orang tiba-tiba fokus kepada pendidikan."
"Dan dari situ saya mendapatkan akselerasi, dapat angin"
untuk bisa melakukan hal-hal yang lebih ekstrem perubahannya.
"Menurut saya, kita punya kesempatan yang besar"
kalau kita berani me-re-imajinasi sekolah- sekolah dan universitas kita
sebagai institusi yang inovatif.
"Lucu sekali, jadi semua, mau itu pemerintah, politisi, orang tua,"
"semua, menginginkan, sekarang lagi ngetren, anaknya inovatif dan kreatif."
"Tapi ada satu lagi bilang,"
"“Mas Menteri, jangan jadikan kelinci percobaan sistem pendidikan kita.”"
Saya menjelaskan ini karena ini adalah ironis terbesar.
Itu adalah komen yang sangat mencelakakan sistem pendidikan kita.
Karena bagaimana caranya anak-anak kita akan kreatif dan inovatif
"kalau sekolahnya saja tidak kreatif dan inovatif,"
kalau sekolahnya tidak diberikan hak
"dan didorong untuk melakukan berbagai macam eksperimen,"
"inovasi cara pembelajaran, dan hak untuk gagal,"
tidak ada namanya inovasi tanpa diberikan hak untuk gagal.
Setiap sekolah dan universitas harus mencoba berbagai macam hal
"dan mereka akan gagal dan itu positif, itu bagus."
"Mereka belajar dari kegagalan inovasi seperti yang kita tahu, Pak Gita,"
datang dari kegagalan kecil-kecil
yang menjadikan kesuksesan besar di akhir hari.
Tapi kalau sekolahnya saja tidak diperbolehkan
"untuk mencoba hal-hal baru,"
jangan harap anak-anak kita akan tumbuh kreatif dan inovatif.
"Gitu saja deh, logikanya simpel saja."
"Jadi menurut saya, itu adalah komen-komen yang bilang"
"“Jangan jadikan sistem pendidikan kita kelinci percobaan,”"
terus apa? Mau diam saja angka PISA kita anjlok terus?
Bentar lagi universitas bahkan nggak relevan lagi buat industri
"kalau kita terus aja kayak gini, itu yang akan terjadi."
"Sekolah akan jadi tempat proses, ya sudah, harus lewat saja."
Orang tua sudah nggak mikir lagi.
Generasi berikutnya mikirnya gimana cara kita
sistem pendidikan paralel yang akan dibuat.
"Dan tentu kalau seperti itu siapa yang mendapat keuntungan,"
"ya orang-orang yang mampu lagi,"
"orang-orang yang sudah terbantu,"
orang-orang yang ada di ruangan ini dan keluarga-keluarganya.
"Yang paling membutuhkan bantuan, tidak akan mendapat bantuan itu."
Karena mereka satu-satunya opsi adalah
"melalui sekolah negeri, sekolah yang mereka ada."
Jadi itu yang menurut saya agen perubahan buat modal manusia
"adalah kepala-kepala sekolah,"
"rektor-rektor merasa, “Saya harus menjadi pusat inovasi,"
"saya harus melakukan segala macam hal yang berbeda,”"
untuk mencapai pendidikan yang lebih relevan dan lebih menyenangkan
buat anak-anak kita. Itu yang saya pikirkan.
– Keren!
"Ini saya masih banyak pertanyaan, tapi saya nggak enak sama panitia."
"Mungkin pertanyaan terakhir, satu lagi, boleh?"
Bagaimana Anda akan melakukan hal-hal secara berbeda semenjak mulai sebagai Menteri?
Atau semuanya oke-oke saja?
Ada nggak satu-dua hal yang mungkin bisa dilakukan
dengan cara yang beda
atau satu dua hal yang belum dicoba semestinya dicoba?
"– Susah ini menjawab pertanyaannya Pak Gita,"
karena tidak ada satu pun hal yang kita lakukan yang kita nggak kesandung.
Semua inisiatif yang saya sebut tadi itu
"datang dari berbagai macam kegagalan iterasi pertama proyeknya,"
"ada kegagalan ini berubah, tapi kita jalan saja,"
sambil menghadapi badai resistensi yang ada di luar.
Jadi susah untuk saya bilang gimana melakukannya secara berbeda.
"Mungkin kalau ada yang, nggak sih, kalau Anda tanya saya,"
Saya akan suka adanya lebih sedikit rasa sakit.
"Jadi mungkin kalau saya punya lebih banyak waktu,"
saya mungkin bisa lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan publik
untuk menjelaskan.
"Tapi karena saya cuma punya 5 tahun di sini,"
"dan saya berkalkulasi, mendingan saya disikat-sikat, tetapi ini jalan,"
atau kita nggak mencapai semua program itu tapi masyarakat lebih mendukung.
Ya jelas pilihan saya.
"Saya bukan bekerja untuk masyarakat Indonesia sekarang,"
"saya bekerja untuk generasi berikutnya,"
"untuk anak-anak yang di sekolah yang nggak punya suara sekarang,"
"yang nggak pernah ditanya sama media,"
"nggak pernah diwawancara oleh TV,"
yang nggak pernah komen-komen di sosmed.
Tugas saya adalah untuk ngurusin mereka.
"Jadi saya mengambil itu keputusan untuk ya sudah,"
"kalau mendingan nggak apa kita bakal disikat-sikat,"
"kita bakal diserang berbagai macam pihak,"
"tapi paling tidak, 5 tahun ini, kita bisa memastikan"
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi akan sangat sulit untuk diputar balik.
"Itu saja. Siapa pun menterinya siapa pun presidennya,"
"dalam setiap program yang kita buat,"
"kita harus mencapai skala minimum untuk memastikan siapa pun,"
"mau itu orang baik atau orang tidak baik yang mengganti saya,"
akan sangat sulit memutar balik kapal besar ini.
"Kalau 1,6 juta guru sudah menggunakan satu platform,"
"coba saja tarik itu aplikasi dari guru, lihat apa yang terjadi?"
"Kalau sekarang 420.000 anak-anak sudah keluar kampus,"
"coba saja siapa itu yang berani narik itu program,"
"adik-adik kelasnya bakal ngapain? Demo langsung,"
kalau mereka nggak dapat hak yang sama.
Jadi berbagai macam program
"kalau 20% dari sekolah kita Kepala Sekolahnya sudah guru penggerak,"
"mau kementeriannya melakukan apa pun, perubahan akan terjadi secara otomatis."
"Jadi itu goal saya adalah oke lah ini trade off,"
"ini akan menjadi pengalaman di mana saya akan punya banyak musuh,"
saya akan punya banyak orang yang tidak bisa mengerti
"atau saya tidak bisa ada waktu menjelaskan kenapa ini semua penting,"
tapi saya tahu akhirnya perubahan itu akan berubah dari kebijakan menjadi gerakan.
"Dan selama itu menjadi gerakan, nggak ada yang bisa menghentikannya, semoga."
– Amin. Top. Keren!
Terima kasih banyak Mas Menteri atas kesempatan emas ini.

#Endgame #GitaWirjawan #NadiemMakarim

------------------------
Pre-Order merchandise resmi Endgame:
https://wa.me/628119182045

Berminat menjadi pemimpin visioner berikutnya? Hubungi SGPP Indonesia di:
admissions.sgpp.ac.id
admissions@sgpp.ac.id
https://wa.me/628111522504

Playlist episode "Endgame" lainnya:
https://endgame.id/season2
https://endgame.id/season1
https://endgame.id/thetake

Dengarkan juga di Spotify:
https://endgame.id/spotify

Kunjungi dan subscribe:
@SGPPIndonesia
@VisinemaPictures 

-------------------------
Bagian:
00:00 Intro
00:45 Pebisnis ke Pejabat
04:59 Pendidikan dari Rumah
12:25 PAUD 101
22:28 Media Sosial
27:34 Menghargai Proses
38:01 Merdeka Belajar
49:15 Kecakapan Berbahasa
58:39 2045



×
Berita Terbaru Update